Kualitas Keris Pacitan
|golekpawarto.com, PACITAN – Keris dan tombak pusaka yang merupakan senjata unggulan Pacitan, keampuhannya tidak diragukan lagi karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur besi meteor.
Besi meteor diperoleh dari benda yang jatuh dari angkasa. Besi meteor dapat dibuat menjadi keris yang kokoh dan kuat. Para pembuat Keris atau Empu membuat Keris dengan disertai iringan doa kepada Sang Maha Pencipta sebagai upaya spiritual.
Keris dan Tombak adalah senjata yang dibuat dari bahan yang sama, keduanya berfungsi sama tetapi hanya berbeda bentuk dan penggunaannya. Di sini kita akan mengulas asal muasal dan segala serba-serbi mengenai keris.
Simbolisasi Keris sebagai Tosan Aji
Kekuatan spiritual Empu dipercaya orang sebagai kekuatan magis yang mengandung tuah. Kekuatan magis seorang Empu masuk dalam batang keris sehingga dapat mempengaruhi lawan. Lawan menjadi takut kepada pemakai senjata pusaka tersebut.
Senjata Pusaka disebut juga Tosan Aji. Keris dapat menimbulkan rasa keberanian kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut hal tersebut sebagai piyandel atau penambah kepercayaan diri. Tosan Aji biasa diberikan oleh Sang Raja kepada bangsawan unggulan Keraton.
Pemberian Raja mengandung kepercayaan kepada bangsawan karena kelebihannya. Namun ketika kepercayaan Raja tersebut dirusak karena perilaku buruk, maka keris pemberian itu akan diminta kembali.
Keris dalam istilah “Ajining Rogo Gumantung ing Rahso”
Hubungan keris dengan sarungnya oleh masyarakat Jawa diartikan sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi “manunggaling kawula lan Gusti”, bersatunya abdi dengan Rajanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat dan sejahtera.
Selain saling menghormati satu dengan yang lain, masing-masing juga menyadari untuk berkarya sesuai dengan kemampuan dan fungsinya secara benar. Makna lain dalam Tosan Aji sebagai karya seni budaya Nasional mengandung berbagai arti dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Tosan Aji kini terancam keberadaan karena perkembangan jaman sehingga kurang diminati dari aspek legenda dan magisnya.
Keris sebagai Tanda Peradaban Pacitan
Selain Bagelen Banyumas dan Madiun, Pacitan dikenal sebagai daerah pembuat keris sejak Kerajaan Majapahit (tahun 1470 M). Keris Pacitan terkenal kuat dan tahan lama karena pamornya dari besi sejati.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646), Pacitan menjadi penghasil senjata perang Kerajaan. Panembahan Seda (ing) Krapyak wafat pada tahun 1613, Sultan Agung menggantikan ayahnya menjadi Raja terbesar Negara Mataram.
Sultan Agung tidak memakai gelar tersebut sampai tahun 1641, dia menggunakan gelar pangeran atau panembahan. Setelah tahun 1624, dia bergelar susuhunan (atau sering disebut sunan, gelar yang juga diberikan kepada kesembilan wali). Pacitan menjadi bagian dari kekuasannya. Sebutan Sultan pada Raja Mataram lebih dikenal dalam kronik Jawa.
Pacitan dikenal sebagai wilayah pandean, dari sinilah senjata prajurit seperti tumbak, keris, pedang, perisai baja diproduksi. Senjata dipasok ke Mataram saat penyerangan Batavia, Tuban, Surabaya, Madura, Wirasaba, Malang sampai Banyuwangi. Begenen Pacitan memproduksi lebih dari 500 juta suku cadang senjata. Tosan Aji dan Begenen Pacitan menjadi bagian vital perang Mataram. Senjata Pusaka Pacitan mengiringi kejayaan Sultan Agung di medan tempur dalam usaha mempersatukan Jawa dibawah Panji Mataram.
Beberapa gelar perang beliau yang terkenal antara lain Garudha Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar kalacakra dan tak lepas dengan beberapa keris yang terselip di kanan kiri dan bagian belakang pinggangnya. (Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto, Februari 2012).
Keris Masa Diponegoro
Pada masa perang Diponegoro, Pacitan adalah tempat utama pemasok senjata pasukan laskar Pangeran Diponegoro. Kebetulan ibunda Pangeran Diponegoro adalah anak kyai dari Pacitan. Pasokan senjata dari Pacitan ini kemudian dihancurkan oleh pasukan Belanda pada tahun 1828, pada peristiwa serbuan November di musim penghujan. Gudang-gudang senjata dihancurkan, rumah bupati Pacitan dibakar, keluarga bupati Pacitan ditangkap dan dibunuh, yang selamat dibawa ke Semarang untuk dibuang ke Ambon.
Pacitan menyimpan tragedi amat kelam atas sejarah tanah Jawa. Di tanah Pacitan ini masih tersimpan sisa-sisa peradaban masa lalu, peradaban para empu, yang menciptakan besi dari meteor, menciptakan batang keris dari remah-remah abu luar angkasa, hamparan serbuk pasir besi pantai, bongkahan badar besi dan kristal yang terjepit disela-sela bebatuan cadas.
Kini pandean Pacitan hanya menciptakan sedikit kenangan masa lalu, seorang pande besi dengan serbuan api 1.200 derajat celcius menahan percikan baja. Mereka adalah orang-orang kuat yang mampu menembus daya tahan sebagai manusia biasa.
Empu Gunung Limo Pacitan
Gunung Limo adalah gunung yang berjajar lima, antara lain Gunung Gembuk, Gunung Pakis Cakar, Gunung Lanang, Gunung Kukusan, dan Gunung Lima Mantren. Disanalah terkisah seorang Empu bernama Wonogati yang tinggal di lereng Gunung Lima.
Mpu Wonogati berasal dari jaman Pajang, setelah kerajaan mengalami banyak huru hara. Beliau datang bersama panjaknya dan beberapa Pajurit SORENG menginjakkan kaki di Pacitan. Inilah cikal bakal Empu pra Mataram yang meracik senjata berpamor Pandean Pacitan yang kemudian dikenal sebagai pijeran Besi Sejati.
Secara umum sebelumnya keris tangguh Pajang memiliki besi mentah, terkesan kurang tempaan Pamornya mubyar (menyala) putih seperti perak. Baja sedang jika berluk, kelokannya terlihat rapat (kekar). Ganja umumnya besar. Sirah cecak juga besar. Tantingannya agak berat, lebih berat dari keris-keris Mataram sesudahnya.
Empu Pacitan
Selain Empu Wonogati, Pajang juga dikenal Empu Umyang (putra Empu Supo Sepuh, Majapahit), Empu Cublak, Empu Surawangan, Empu Joko Puthut dan Empu Pengasih. Pembuat keris yang disebut terakhir ini ditandai dengan karyanya yang tidak berpamor. Setelah melihat hamparan Pasir Besi yang melimpah di tepian pantai Empu Wonogati memiliki keleluasaan untuk memperbaiki kualitas karyanya. Menurut pendapat Mbah Mangil (sesepuh Gunung Limo) Empu Wonogati memilih gunung ini sebagai tempat yang ideal untuk menunggal karsa manungal karya. Meyakini bahwa ketenangan alam pegunungan mampu memfokuskan batin (manekung/khusyuk) dalam ritual pembuatan Pusaka.
Petilasan Kyai Wonogati ada di Desa Mantren Kecamatan Kebonagung Pacitan. Sedangkan Pimpinan Soreng Pati (Suro Ing Pati/Kopasus) Pajang ada di Desa Gayam Kecamatan Kebonagung. Dikabarkan menjadi cikal bakal Desa Wonogondo yang berjasa membabat hutan. Wonogondo adalah desa di Kecamatan Kebonagung, dari asal kata Wono (hutan) dan Gondo (harum). Konon dalam sebuah tutur dikabarkan hutan tersebut awalnya beraroma wangi, karena dipenuhi tumbuhan Pudhak (Pandan).
Pada saat Adheging Bhumi Mataram sebagaimana tertulis dalam Babad Momana, Pacitan sudah dikenal semenjak Mataram dipimpin Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Pacitan dikenal sebagai wilayah pandean, disinilah pasokan senjata borongan prajurit seperti tumbak, keris, pedang, perisai baja diproduksi. Dengan adanya Besi Sejati dari masa ke masa telah sesuai dengan perannya mengiring para ksatria dalam menjalankan tugas sura ing pati.