Pacitan Aji Budaya
|golekpawarto.com, PACITAN – Nusantara terkait Pacitan adalah bagian sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia. Sejak jaman Pra Sejarah, Pacitan selalu andil tercatat dalam kisah kepahlawanan, antara lain Ki Ageng Buwono Keling pada masa Majapahit, Pangeran Mangkubumi dengan di bukanya wilayah Pacitan, Perjuangan Pangeran Diponegoro, dan catatan Perang Gerilya Jenderal Sudirman. Tumenggung Notopuro dan Tumenggung Setroketipo menoreh sejarah nama Pacitan yang diperingati masyarakat hingga kini.
Salah satu kebudayan mulai dari kostum, atribut dan ceremonialnya merupakan peninggalan Kerajaan Mataram kini masih mewarnai setiap acara di Pacitan. Pacitan merupakan bagian dari Negara Mataram saat itu yang selalu memberikan arti penting bagi kejayaan Negara penaungnya. Pacitan adalah pusat industri senjata terbesar saat kejayaan Negara Mataram.
Filosofi-filosofi Wangsa Jawa yang masih melekat, bukti-bukti kadigdayaan Jawa yang masih nampak dan kebiasaan-kebiasaan dalam adat masih tergambar dengan jelas. Pacitan masih memiliki, menggunakan dan melestarikan budaya peninggalan leluhur. Ciri budaya Pacitan yang tidak mudah terpengaruh dari budaya luar yang masuk menjadi hal yang unik, disatu sisi menjadi tameng untuk keaslian karakter Pacitan, di sisi lain karakter Pacitan sangat menerima kehadiran budaya jika sudah masuk dalam logika karakter masyarakat Pacitan.
Filosofi Wangsa Jawa warisan leluhur dari perspektik Tosan Aji sebagai karakter diri yang masih bertahan :
Ajining Diri Gumantung Soko ing Lathi
Penghargaan pada seseorang tergantung pada ucapannya. Menjaga, memengang ucapan, halus budi bahasa dalam rangka Amemangun karyenak tyasing sesama (membuat enaknya perasaan orang lain) serta memanfaatkan kata-kata sebaik mungkin. Wangsa Jawa menyatakan tidak baik jika menghilangkan tata krama, asal bicara, omong kosong , dan merugikan.
Dalam perkembangannya seni kata sampai pada puncaknya yang dikenal dengan istilah sastra dan pelakunya disebut pujangga. Adapun kemampuan pujangga meliputi; 1) parama sastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), 2)
parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa kawi), 3) mardi basa (ahli memainkan kata-kata), 4) mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), 5) awicara (pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), 6) mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang ‘kasar’ dan ‘halus’, 7) nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), 8) sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam).
Seperti halnya sastra, Mpu Mudho Pacitan mengatakan keris tidak hanya merupakan puncak dari seni tempa logam, mengekspresikan sebuah ungkapan, dan syarat dengan filosofinya. Bahkan fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditi yang bernilai tinggi.
Ajining Rogo Gumantung ing Busono
Ada pepatah yang menyatakan : “Penghargaan pada seseorang tergantung karena busananya.” Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu.
Keris sebagai accesoris pelengkap kaum pria yang mengenakan busana adat di berbagai daerah. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa, Melayu, Bugis, Bali dan daerah Nusantara lainnya dilambangkan sebagai simbol “kejantanan.” Bahkan sampai-sampai ada adat terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.
Ajining Bangsa Gumantung ing Budoyo
Tosan Aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa saja, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka andalan, seperti rencong di Aceh, badik di Makasar, pedang, tombak berujung tig (trisula), keris bali, dan lain-lain.
Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Nusantara dulu secara turun temurun, bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan (kesuburan/Lingga Yoni). Di dunia ini Allah menciptakan makhluk dalam dua jenis yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan dan unsur benda lainnya. Kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan Karaton yang terdiri dari senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar (bendho). Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan mengelilingi komplek Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.
Kirab Pusaka Pacitan merupakan Rangkaian puncak peringatan hari jadi Kabupaten Pacitan tiap tahun pada tanggal 16 Februari, pusaka kadipaten dikirab keluar pendopo kabupaten.Pelaksanaan kirab berlangsung meriah dengan balutan budaya khas Jawa, senantiasa dilaksanakan secara kolosal oleh berbagai elemen dan disambut antusiasme masyarakat. Pendopo kabupaten yang sehari-hari digunakan untuk acara resmi di ubah menjadi nuansa keraton dengan dekorasi ukir menakjubkan.
Sebelum kirab, prosesi hari jadi berlangsung di pendopo kabupaten. Diiringi lantunan gending-gending jawa, suasana pagi menjelang upacara kirab benar-benar seperti kembali ke masa lalu.Seluruh tamu undangan yang hadir dalam prosesi menggunakan busana beskap lengkap khas Jawa lengkap dengan senjata keris terselip di pinggang belakang.
Berurutan; umbul-umbul panji, pasukan tombak pedang, pataka, pangiring bendhe prajurit, nirap tirta kadhipaten, dan wujud manunggaling kawulo gusti.
Sumber :
- Slamet Margiono, Ketua Dalang Pacitan
- Nur Ichwan (Kompleh), Seniman, Mpu Mudho Pacitan
- Johan Perwiranto, Budayawan Pacitan